Suatu sore aku beserta salah satu
kader pemberdayaan kampung Sirau berencana menemui petinggi kampung untuk
membahas rancangan naskah RPJMDes. Pak Sulaiman nama kader itu. Dia merupakan
salah satu dari dua kader yang paling bersemangat tinggi membangun kampung.
Kebetulan letak kampung Sirau bersebalahan dengan kampung tempat aku tinggal
hanya terpisah oleh satu kampung lain bernama kampung Lutan.
Sepanjang perjalanan dari kampung
Datah Bilang menuju kampung Sirau, saya disuguhkan pemandangan alam yang cukup
menarik. Jalan yang kami lewati masih berupa jalan tanah, lebih tepatnya jalan
tanah lumpur. Kalau di jawa, saya menyebutnya tanah lempung. Perlu anda tahu
tanah jenis ini cenderung empuk bahkan lembek jika dilewati. Terlebih saat
hujan turun, hampir tak seorangpun yang berani melewatinya. Alas an cukup
jelas, mereka takut terpeleset dan jatuh dari motor. Karena ketika hujan, tanah
ini akan menjadi sangat licin. Kanan kiri jalan masih hutan liar. Ada beberapa
petak yang sudah dimanfaatkan untuk bercocok tanam seperti tanaman padi. Aku
sangat takjub dan menikmati perjalanan yang mendebarkan ini.
Sampai di tujuan kami singgah di
suatu rumah yang letaknya paling ujung selatan dari batas kampung. Disana aku
duduk ditemani dua orang yang berbeda suku. Satu berasal dari bone Sulawesi
(entah Sulawesi mana saya belum tahu), dan yang satu lagi sepertinya dari suku
dayak. Sementara, Pak Sulaiman pergi menjemput petinggi kampung. Sembari
menunggu kedatangan pak Sulaiman dan petingginya, aku sempatkan menyulut
sebatang rokok LA yang rasanya sedikit berbeda dengan yang ku nikmati di pulau
jawa. Kami pun mengobrol sembari merokok. Begitulah lelaki, tak ada obrolan
tanpa asap rokok. Aku mengawali obrolan bersama orang tua yang berasal dari
Bone. Dia bercerita sudah berada di kampung itu semenjak tahun 2004. Nampaknya
dia sendirian saja disana. Itu aku ketahui setelah dia menjawab pertanyaanku
bahwa dia sudah berpisah dengan keluarganya (istrinya). Obrolan ku bersama
orang Bone tak lama karena selang beberapa menit muncul dari dalam rumah
seorang lelaki lain yang berasal dari suku Dayak. Entah siapa namanya. Aku lupa
menanyakannya.
Sepertinya dia tertarik untuk
ikut masuk dalam obrolan saat aku mengatakan bahwa aku berasal dari Jawa. Itu
lantaran dia pernah menikah dengan perempuan Jawa, tepatnya Pati dan tinggal di
sana cukup lama. Banyak cerita yang aku dapat dari lelaki itu, termasuk
petualangannya ke beberapa pulau di Indonesia. Salah satu yang paling menarik
perhatianku adalah cerita mengenai pulau Keramat yang berada tak jauh dari kampung
Sirau. Pulau itu berada di tengah-tengah aliran sungai Mahakam.
Disamping cerita mengenai pulau
keramat, ada satu cerita lagi yang cukup menarik perhatianku juga. Yaitu cerita
latar belakang mengapa Orang Dayak disebut suka makan daging manusia dan minum
darah. Entah benar atau tidak cerita itu aku tak tahu pasalnya lelaki itu juga
mendapat cerita tersebut dari neneknya. Artinya, cerita mengenai orang Dayak
ini sudah terjadi bertahun-tahun lalu dan kemudian orang-orang Dayak turun
temurun mewariskan cerita tersebut kepada penerusnya. Terlepas dari itu semua cerita ini tetap menarik untuk
aku dengar dan aku tuliskan disini.
Dahulu kala, kampung-kampung yang
ada di Kalimantan sudah terbagi-bagi dan memilik batas yang jelas. Ada beberapa
kampung yang memiliki wilayah yang luas dan ada pula yang wilayahnya sempit.
Perbedaan luas wilayah tersebut sering menimbulkan pertentangan antar kampung.
Terkadang kampung yang memiliki wilayah sempit meminta pada kampung sebelah
sedikit bagian dari batas kampung tersebut. Berkaitan dengan hal ini, ada
beberapa kampung yang enggan membagi wilayahnya dengan kampung yang lain
sehingga memunculkan permusuhan antar kampung. Atas dasar inilah sering terjadi
peperangan antar kampung.
Peperangan yang terjadi antar
kampung selalu membawa korban jiwa. Yang menarik dari peperangan ini adalah,
sebelum salah satu kampung dinyatakan kalah, menyerah atau habis terbunuh
semua, peperangan tidak akan pernah berhenti walau harus memakan waktu
berhari-hari lamanya. Jika demikian mereka akan bertarung terus menerus sampai
salah satu dari kubu yang berperang habis terbunuh.
Selain mengandalkan senjata tajam
dalam peperangan, pemimpin-pemimpin perang juga mengandalkan kesaktiannya.
Diantaranya adalah kesaktian dalam hal kekebalan tubuh dari segala macam jenis
senjata. Hal inilah yang kemudian memaksa pertempuran berlangsung alot lantaran
masing-masing kubu memiliki ilmu kanuragan yang sama yang kebal terhadap
senjata apapun. Pertempuran yang alot tersebut tentu akan memakan waktu yang
lama. Mereka akan berhenti sejenak ketika lelah dan melanjutkan lagi
peperangan. Demikianlah peperangan itu berlanjut sampai salah satu kubu
dinyatakan kalah. Lalu bagaimana jika mereka berperang sampai berhari-hari?
Apakah mereka tidak kelaparan. Sebagai manusia biasa mereka juga merasa lapar
meskipun saat berperang terutama jika sudah berlangsung berhari-hari. Karena
persediaan makanan habis, apapun mereka makan termasuk daging manusia yang
sudah tergeletak mati tak bernyawa dalam peperangan tersebut. Jika tak ada air,
darah mereka minum. Begitulah hingga akhirnya orang Dayak dikenal sebagai
pemakan manusia dan peminum darah.
Long Hubung, 25 Oktober
2012
0 Komentar:
Posting Komentar